Antisipasi Konflik di Belakang Waktu, Pakar Hukum Sarankan Izin Penggunaan Karya Dibuat Tertulis dan Rinci


Cover Opini

– Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebuah karya, termasuk lagu, sepenuhnya merupakan milik penciptanya. Hal itu tercantum pada Pasal 40 ayat (1) huruf d. “Lagu dan atau musik, dengan atau tanpa teks, merupakan karya cipta yang dilindungi,” papar Dr Yoan Nursari Simanjuntak SH MHum kepada

Jawa Pos

Sabtu (14/6).

Pencipta punya dua jenis hak, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Hak moral bersifat melekat, yaitu menyebut dan menjaga nama pencipta, sedangkan hak ekonomi memberikan kewenangan kepada pencipta untuk mendapatkan keuntungan dari karyanya.

Penggunaan sebuah karya secara komersial, seperti pertunjukan dan distribusi, wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hal ini sesuai Pasal 9 ayat (2) dan (3) UU Hak Cipta. “Kalau penggunaan tanpa seizin dan demi kepentingan komersial, jelas merupakan pelanggaran,” kata pengajar Hak Kekayaan Intelektual dan Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya) itu.

Baca Juga  TOP 5 Destinasi Wisata Terbaik di Papua, Salah Satunya Raja Ampat yang Keindahannya Diakui Dunia

Meski demikian, penggunaan sebuah karya dapat dikecualikan apabila digunakan demi kepentingan nonkomersial, kegiatan belajar, agama, keluarga, atau apabila sebuah karya memang tengah berada di domain publik, yaitu 70 tahun setelah pencipta meninggal.

Dalam kasus Vidi, izin awal sempat diminta secara lisan oleh sang ayah, Harry Kiss. Yoan menyebut langkah ayah Vidi meminta izin sudah tepat dan merupakan bentuk iktikad baik. Namun, perizinan tersebut harus rinci dan lengkap.

“Izin bukan hanya kesepakatan lisan. Dalam penggunaan secara komersial, harus jelas aspek apa saja yang boleh, Royalti, distribusi, dan jangka waktu penggunaan. Kalau masih terjadi masalah, berarti perjanjian awal memang masih kurang rinci,” jelasnya.

Baca Juga  Burni Kelieten,Primadona Baru Wisata Alam di Aceh Tengah yang Belum Tersentuh Izin Resmi

Perjanjian lisan, lanjut Yoan, berisiko menjadi masalah apabila terjadi sengketa. “Izin lisan memang boleh, tapi demi kepastian hukum, sebaiknya segera dituangkan secara tertulis,” sambungnya.

Yoan juga menyinggung terkait ukuran ganti rugi yang harus proporsional dan berdasarkan kerugian yang terjadi, bukan sembarang menyebut sebuah nominal. Diketahui, Vidi Aldiano sempat mengajukan ganti rugi sebesar Rp 50 juta dalam upaya meredam konflik dan menjaga hubungan baik.

Namun, pihak Keenan menganggap jumlah tersebut tidak sebanding dengan pemanfaatan lagu secara komersial selama 16 tahun, yaitu lebih dari 300 kali tampil. “Ganti rugi harus sesuai kerugian materiil dan immateriil yang diderita pencipta, bukan berdasarkan taksiran sepihak,” tutur Yoan.

Keenan Nasution dan Rudi Pekerti mengajukan gugatan ganti rugi materil sebesar Rp 24,5 miliar. Selain ganti rugi uang, Keenan juga menuntut penyitaan sebuah rumah milik Vidi. Langkah ini dimaksudkan sebagai jaminan apabila nantinya ganti rugi yang dimohon dikabulkan pengadilan.

Baca Juga  Prediksi Zodiak Aquarius dan Pisces 15 Juni 2025: Tenanglah Pisces, Ketahui Kesalahanmu!

“Kalau terjadi pelanggaran, pencipta memang dapat meminta ganti rugi, menyita properti, dan melarang penggunaan karyanya lebih lanjut. Hal ini sesuai Pasal 96 dan Pasal 99 UU Hak Cipta,” ungkap Yoan.

Sidang telah digelar. Namun, Vidi tidak hadir di pengadilan. Sidang lanjutan pada 11 Juni 2025 kembali ditunda karena dokumen legalitas kuasa hukum Vidi belum lengkap. Sidang berikutnya diperkirakan Selasa (176), dengan fokus pada tahap pembuktian.

Apabila Vidi kembali absen dalam persidangan, hal itu dapat merugikan posisinya. Meski ketidakhadirannya tidak langsung membuat gugatan dikabulkan oleh Hakim, tapi akan mengurangi kesempatan untuk melakukan pembelaan, bantahan, atau bukti untuk menguatkan posisinya.

(lai/nor)

Tinggalkan Balasan