Bapak dan Ibu Guru, Mari Kita Memahami Gaya Belajar dari Peserta Didik Kita: Cerita Reflektif Modul 2 PPG


BERITA DIY

– Sebagai pendidik, saya semakin sadar bahwa mengajar tidak sekadar berbicara di depan kelas.

Materi yang disampaikan dengan satu cara belum tentu menjangkau seluruh cara berpikir siswa. Kesadaran inilah yang saya peroleh setelah mendalami Modul 2 Pembelajaran Sosial-Emosional (PSE), khususnya topik

Experiential Learning

di PPG 2025.

Melalui modul tersebut, saya diingatkan kembali bahwa setiap peserta didik adalah individu unik.

Mereka datang ke kelas membawa gaya belajar yang berbeda, cara menyerap pengetahuan yang tidak selalu sama persis antara satu dengan yang lain.

Awal Kesadaran: Satu Metode Tidak Cukup

Awalnya, saya terbiasa mengandalkan metode ceramah, diikuti diskusi tanya jawab. Saya mengira kombinasi ini sudah ideal.

Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Beberapa siswa tetap kesulitan mengikuti, walau penjelasan sudah saya ulang berulang kali.

Baca Juga  Pesan untuk Zodiak-Zodiak yang Diselimuti Energi Positif pada 8 Juni 2025

Situasi ini mendorong saya merenung:

Mungkinkah saya terlalu fokus pada cara saya nyaman mengajar, tapi lupa menyesuaikan cara siswa nyaman belajar?

Langkah Awal: Mengenali Gaya Belajar Siswa

Saya pun mulai mendalami teori gaya belajar. Ada siswa yang lebih kuat di aspek visual, sebagian dominan auditori, sebagian lagi kinestetik—dan tak jarang campuran dari ketiganya.

Untuk menyesuaikan metode, saya memutuskan mengamati perilaku belajar siswa secara langsung selama beberapa minggu.

Saya juga melakukan obrolan santai dengan beberapa siswa, bertanya bagaimana mereka lebih mudah paham: melalui gambar, cerita lisan, atau praktik langsung?

Merancang Strategi Pembelajaran yang Bervariasi

Berbekal hasil pengamatan dan masukan siswa, saya mulai meracik pola pengajaran yang lebih beragam:

  • Bagi siswa visual, saya menyiapkan diagram, poster berwarna, hingga video ilustrasi.

  • Untuk siswa auditori, saya memperpanjang durasi penjelasan verbal, menambahkan rekaman suara, dan sesi diskusi interaktif.

  • Untuk siswa kinestetik, saya sering membagi tugas membuat proyek mini, simulasi, atau percobaan yang melibatkan gerak dan praktik nyata.

Baca Juga  Kalender Jawa Weton Sabtu Pahing 14 Juni 2025,Arah Rezeki Ada di Lor dan Kidul

Dengan kombinasi ini, saya berharap tidak ada lagi siswa yang merasa ‘tertinggal’.

Perubahan yang Terlihat di Kelas

Setelah beberapa minggu, saya mulai merasakan atmosfer kelas berubah:

  • Siswa yang biasanya pasif mulai angkat tangan, bertanya, atau bercerita di depan teman-temannya.

  • Diskusi lebih hidup, karena siswa merasa metode yang digunakan cocok dengan cara mereka berpikir.

  • Keterlibatan merata, tidak hanya dikuasai oleh segelintir anak yang memang selalu menonjol sebelumnya.

  • Rasa percaya diri siswa meningkat, mereka tampak lebih senang datang ke kelas dan berpartisipasi dalam tugas kelompok.

Bagi saya pribadi, pengalaman ini menegaskan kembali makna experiential learning: guru perlu memfasilitasi siswa melalui siklus pengalaman nyata → refleksi → pemahaman konsep → penerapan aktif.

Baca Juga  Ratusan Mahasiswa Universitas Gifu Calon Guru Pelajari Angklung: Wujudkan Harmoni di Jepang

Belajar memahami gaya belajar siswa bukan sekadar tugas tambahan, melainkan bagian dari tanggung jawab mendidik dengan sepenuh hati. Seorang guru dituntut fleksibel, kreatif, dan selalu mau mendengarkan sinyal dari setiap anak.

(

Sumber: rangkuman Modul 2 PPG 2025

)

Refleksi saya dari Modul 2 PPG 2025 membuahkan satu keyakinan: siswa bukan bejana kosong yang bisa diisi sama rata. Mereka adalah individu dengan keunikan cara belajar.

Dengan mengenali dan menyesuaikan gaya belajar—apakah visual, auditori, atau kinestetik—guru bisa membuat ruang kelas lebih inklusif dan bermakna. Hasilnya, bukan hanya nilai akademik yang naik, tetapi juga rasa percaya diri, antusiasme, dan kecintaan siswa pada belajar akan bertahan lebih lama.***

Tinggalkan Balasan