PIKIRAN RAKYAT BENGKULU –
Belakangan ini, frasa
“Butterfly Era”
sering berseliweran di media sosial seperti TikTok, Instagram, hingga X (sebelumnya Twitter).
Bukan tanpa alasan, istilah ini digunakan oleh banyak orang—terutama generasi muda—untuk menandai momen transformatif dalam hidup mereka.
Mulai dari unggahan bertema
self-love
, healing journey, hingga perubahan gaya berpakaian dan penampilan, semuanya diberi label “Butterfly Era.”
6 Kode Redem FF SG2 – RAPPER UNDERWORLD, Skin Incaran Para Player Free Fire Ada di Sini!
Istilah ini menjadi bentuk afirmasi bahwa seseorang sedang melewati masa pertumbuhan yang penting, layaknya ulat yang akhirnya bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.
Bukan Sekadar Estetika, Simbol dari Perjalanan Emosional
Menurut psikolog klinis
Dr. Meutia Savitri
, simbol kupu-kupu merepresentasikan proses panjang dan tidak selalu nyaman menuju versi terbaik dari diri sendiri.
“Tren seperti ini bisa jadi bentuk refleksi kolektif, terutama pasca-pandemi. Banyak orang yang merasa sedang menyembuhkan diri, memperbaiki kebiasaan, atau mengejar impian yang sempat tertunda,” ujar Meutia.
Di balik caption seperti
“I’m entering my butterfly era”
, terdapat cerita tentang seseorang yang belajar menetapkan batas, memperjuangkan kesehatan mental, atau bahkan bangkit dari pengalaman pahit.
Estetika yang Menguatkan Identitas
Tak hanya sisi emosional, Butterfly Era juga tercermin dalam gaya visual. Warna-warna pastel, motif kupu-kupu, sayap transparan, hingga makeup bernuansa ethereal menjadi simbol identitas baru.
Influencer seperti
Avani Gregg
dan
Jennie BLACKPINK
bahkan mempopulerkan tren ini dalam pemotretan dan konten pribadi mereka. Hasilnya, jutaan pengguna lain ikut merayakan momen serupa—bukan untuk ikut-ikutan, tapi karena merasa “terwakili”.
Mengapa Tren Ini Relevan?
Di era digital, branding diri menjadi bagian dari ekspresi personal. Namun, yang menarik dari “Butterfly Era” adalah nuansa empatiknya.
Ini bukan soal pencitraan semata, melainkan bentuk publik dari pencapaian pribadi yang dulu mungkin dianggap sepele: memaafkan diri sendiri, meninggalkan hubungan toksik, atau sekadar istirahat sejenak dari dunia yang bising.
Menurut riset dari
Pew Research Center
, 61% Gen Z di Asia Tenggara menyatakan media sosial membantu mereka memahami diri sendiri dan memperkuat rasa percaya diri—angka yang mendukung bagaimana tren seperti ini bisa berdampak nyata secara psikologis.
Butterfly Era adalah Milik Semua Orang
Butterfly Era bukan tentang siapa yang paling estetik atau paling viral, tapi tentang siapa yang sedang berproses. Jika kamu merasa sedang tumbuh, menyembuhkan, atau mencoba menyukai diri sendiri lagi—mungkin kamu juga sedang ada di Butterfly Era-mu sendiri.
Tak perlu sempurna. Seperti kupu-kupu, yang penting kamu sedang bergerak ke arah yang lebih baik.***