Alkisah, seorang gadis remaja menjadi korban perundungan oleh teman-teman sekolahnya.
Trauma fisik dan mental membuatnya mengurung diri. Sekian tahun berlalu, ia memupuk kemarahan sembari menyiapkan strategi balas dendam bagi semua perundungnya.
Perjalanan kisah Moon Dong-eun (diperankan aktris Song Hye-kyo) tersebut dapat diikuti dalam serial drama Korea
The Glory
yang rilis 2022 lalu.
Drama yang terinspirasi dari kisah nyata ini menyuguhkan aksi balas dendam yang hati-hati dan terencana. Bagi beberapa penonton yang memiliki pengalaman relevan, setiap langkah yang diambil Dong-eun bisa jadi menimbulkan efek memuaskan.
Bagaimana bisa begitu?
Dalam kehidupan manusia yang penuh dinamika, mustahil tidak dijumpai adanya keinginan untuk balas dendam atau sekadar mengharapkan “karma” pada orang yang sudah menjahati kita atau berbuat keliru pada kita.
Sebut di antaranya dendam kepada bos di kantor yang menyebalkan dan antikritik, mantan pacar yang berselingkuh atau berkhianat, bahkan orang tak dikenal yang menyerobot antrean di kasir.
Karyn Hall, PhD dalam artikelnya di
Psychology Today
menulis, balas dendam nampaknya memang salah satu insting terdalam manusia.
Hall menuturkan, pakar dan peneliti melihat balas dendam sebagai semacam bentuk penegakan keadilan. Selain itu, ancaman balas dendam dapat berfungsi sebagai perlindungan.
“Bisa jadi, tujuan balas dendam adalah untuk mencegah tindakan permusuhan tertentu, atau ancaman balas dendam bisa menjamin orang lain tidak akan menyakitimu di masa depan,” tulis Hall.
Melansir
Vox
,
terdapat dua teori yang dapat menjelaskan mengapa aksi balas dendam terasa menyenangkan.
Pertama, melihat orang menderita setelah menyakiti kita pada dasarnya memang hal yang memuaskan.
Kedua, penjelasannya berkaitan dengan pihak yang telah menyakiti kita. Apabila mereka mengerti alasan dirinya menjadi sasaran balas dendam, dan menyadari bahwa tindakannya sudah menyakiti kita, idealnya mereka akan menebus kesalahannya.
“Ketika balas dendam berhasil dilakukan, hal ini dapat memicu penyesalan dan rasa bersalah [pada orang-orang yang telah menyakiti kita sedari awal] sehingga muncul dorongan darinya untuk memperbaiki keadaan,” kata Stephen Yoshimura, dosen komunikasi University of Montana.
“Meski begitu, dalam banyak kasus, tidak dijelaskan letak kesalahannya atau terjadi banyak kesalahpahaman tentang situasi sebenarnya… akibatnya, mereka malah menanggapi dengan pembalasan balik. Dari situlah keadaannya jadi tidak terkendali,” imbuh Yoshimura.
Efek menyenangkan dari sekadar membayangkan balas dendam dapat dijelaskan secara
biologis
.
Temuan ini didapat oleh sekelompok peneliti di Swiss yang
memindai otak
orang-orang yang baru saja disakiti dalam sebuah eksperimen permainan.
Peserta yang disakiti kemudian diberi kesempatan untuk menghukum orang lain.
reward
atau hadiah.
Meski memberikan kepuasaan, penting diingat, rasa bahagia setelah menerima
reward
atau hadiah cenderung berlangsung sekejap.
Sensasi menyenangkan yang timbul setelah melakukan aksi balas dendam, atau sekadar membayangkan aksinya, sangat mungkin hanya bertahan sesaat.
Balas dendam juga berpotensi memperpanjang rasa penderitaan yang sudah berlangsung sekian lama. Meski dilakukan dengan semangat meraih keadilan, aksi balas dendam bisa jadi menciptakan siklus pembalasan yang sulit dihentikan.
Dosen psikologi di Edge Hill University, Geoff Beattie, dalam tulisannya di
The Conversation
,
mengutip sebuah studi menarik yang dilakukan pada 2008 silam.
Berdasarkan riset tersebut, tim peneliti menemukan fakta bahwa orang cenderung memiliki suasana hati yang jauh lebih buruk sesaat setelah melakukan tindakan balas dendam. Pendek kata, perasaan peserta jadi campur-aduk setelah melancarkan aksi dendam.
bittersweet
(pahit manis)… Artinya, balas dendam sebenarnya dapat memicu campuran emosi positif dan negatif—termasuk perasaan tegang, tidak pasti, dan munculnya cemas atau gentar,” tulis Beattie.
Di balik sisi kelam tentang keputusan membalas dendam, aksi tersebut memiliki sisi terang yang tak kalah menarik untuk dikulik.
Artikel di jurnal
Social and Personality Psychology Compass
(2010) pernah merangkum beberapa temuan studi tentang manfaat dari aksi balas dendam, salah satunya berkaitan dengan fungsi-fungsi sosial.
Dalam konteks hidup bermasyarakat, balas dendam dapat mencegah terjadinya pelanggaran karena calon pelaku menyadari risiko yang kelak ditanggungnya.
Selain itu, tindakan balas dendam bisa jadi semacam hukuman bagi orang yang telah melakukan kesalahan sehingga dapat mencegah tindakan salah serupa atau bahkan yang lebih merugikan di masa depan.
Pembalasan dendam juga berpotensi mendorong terwujudnya kerja sama yang solid. Di dalam kerja kolektif, setiap anggota perlu sama-sama bekerja keras agar semua dapat bertahan hidup. Ancaman balas dendam berguna untuk mencegah individu yang hanya mau seenaknya.
Studi-studi lain mengaitkan manfaat balas dendam dengan teori keseimbangan atau kesetaraan.
Dengan begitu, balas dendam dapat memulihkan harga diri korban dan menegaskan betapa kuat dan berdaya dirinya.
Studi lawas lain menyorot bahwa menjadi pendendam penting berkaitan dengan budaya kehormatan dan kedudukan sosial. Ini ditemukan dalam tradisi masyarakat petani dan peternak di kawasan Amerika Selatan.
Hewan ternak harganya mahal dan rentan dicuri. Masyarakat tani di sana pun dikenal dengan reputasinya sebagai orang-orang yang menaruh dendam demi melindungi ternaknya.
Ya, pada akhirnya, naluri untuk melakukan aksi balas dendam memang penuh dengan kontradiksi.
Dari dendam, kita mungkin akan meraup manfaat atau nikmat yang sedari lama telah kita perjuangkan. Pada waktu sama, ada konsekuensi-konsekuensi negatif yang dampaknya bisa jadi berlarut-larut.