Orang yang Tidak Pernah Posting di Media Sosial tapi Selalu Stalking Orang Lain Biasanya Menunjukkan 8 Ciri Kepribadian Khas Ini Menurut Psikologi

Cover OpiniDi era digital seperti sekarang, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Banyak orang menggunakan platform seperti Instagram, Facebook, atau TikTok untuk berbagi momen hidup, mengekspresikan diri, dan berinteraksi dengan orang lain.

Namun, ada juga kelompok yang memilih untuk tetap diam—tidak pernah memposting apa pun, tetapi aktif memantau kehidupan orang lain secara diam-diam.

Dalam psikologi, perilaku ini dikenal sebagai “social media lurking”.

Lurker atau pengintai media sosial adalah individu yang jarang atau bahkan tidak pernah memposting konten, tetapi secara aktif mengamati, membaca, dan mengikuti aktivitas orang lain.

Perilaku ini bukan sekadar kebiasaan biasa—psikologi menemukan bahwa orang-orang dengan kecenderungan ini sering menunjukkan pola kepribadian tertentu yang khas.

Dilansir dari Geediting pada Sabtu (14/6), terdapat 8 ciri kepribadian khas yang menurut psikologi sering dimiliki oleh orang-orang yang tidak pernah posting di media sosial, tapi selalu stalking kehidupan orang lain:

1. Introvert dan Menyukai Privasi

Ciri paling umum dari para “lurker” adalah kecenderungan introvert.

Mereka merasa tidak nyaman untuk berbagi kehidupan pribadi ke publik.

Bagi mereka, membagikan foto atau pemikiran secara terbuka bukanlah sesuatu yang menarik atau perlu.

Mereka lebih suka menyimpan segala sesuatunya untuk diri sendiri dan hanya menjadi pengamat diam.

Psikologi menyebut hal ini sebagai bentuk perlindungan terhadap privasi dan batasan personal yang tinggi.

Baca Juga  Deretan Julukan Bekasi, Asal Mula Sebutan Kota Patriot Berawal

Mereka tidak ingin menjadi pusat perhatian, tetapi tetap ingin tahu dinamika sosial di sekitarnya.

2. Punya Rasa Ingin Tahu yang Tinggi

Meskipun tidak aktif membagikan kehidupan sendiri, para stalker media sosial biasanya memiliki curiosity atau rasa ingin tahu yang besar.

Mereka tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi dalam hidup orang lain—entah itu teman lama, mantan, atau public figure.

Dorongan untuk mengetahui informasi sosial ini seringkali dilakukan tanpa keinginan untuk turut terlibat secara langsung.

Psikolog menyebut fenomena ini sebagai bentuk voyeurisme sosial ringan, yaitu ketertarikan terhadap kehidupan orang lain tanpa perlu interaksi langsung.

3. Cemas Akan Penilaian Sosial

Sebagian orang enggan memposting di media sosial karena takut akan penilaian atau komentar negatif dari orang lain.

Mereka sangat memperhatikan bagaimana mereka dipandang, sehingga lebih memilih diam daripada berisiko disalahpahami.

Ini disebut sebagai social evaluation anxiety.

Alih-alih tampil dan berbagi, mereka merasa lebih aman hanya sebagai penonton.

Mereka akan mengamati tren, gaya hidup, atau pencapaian orang lain, namun menahan diri untuk tidak ikut serta karena khawatir tidak memenuhi ekspektasi sosial.

4. Perfeksionis dalam Diam

Beberapa orang yang tidak pernah memposting apa pun sebenarnya memiliki standar yang sangat tinggi terhadap diri sendiri.

Mereka merasa bahwa jika sesuatu tidak sempurna—baik dari segi foto, caption, atau momen—maka lebih baik tidak dibagikan sama sekali.

Baca Juga  Ramalan Zodiak Leo 12 Juni 2025: Karier dan Keuangan, Kesehatan hingga Cinta

Kepribadian perfeksionis ini sering membuat mereka ragu untuk mengekspresikan diri secara terbuka.

Mereka takut terlihat “biasa saja” atau tidak cukup menarik, sehingga akhirnya lebih nyaman berada di balik layar.

5. Punya Sifat Pengamat yang Kuat

Mereka adalah pengamat ulung. Orang-orang ini mampu membaca dinamika sosial hanya dari unggahan-unggahan di media sosial.

Mereka memperhatikan detail kecil, seperti siapa yang berkomentar, siapa yang muncul di foto bersama siapa, hingga pola posting seseorang.

Psikologi menyebut hal ini sebagai tanda kecerdasan sosial pasif, yakni kemampuan memahami interaksi sosial tanpa ikut serta secara langsung.

Ini bisa menjadi kekuatan tersendiri dalam memahami karakter dan motivasi orang lain.

6. Memiliki Kecenderungan Membandingkan Diri

Seringkali, orang yang terus memantau kehidupan orang lain tanpa memposting sendiri memiliki kecenderungan untuk membandingkan hidupnya dengan orang lain.

Ini adalah bagian dari perilaku yang dikenal sebagai social comparison.

Mereka mengamati pencapaian, penampilan, atau kebahagiaan orang lain di media sosial, dan kemudian tanpa sadar menilai kehidupannya sendiri berdasarkan itu.

Sayangnya, ini bisa berdampak buruk pada harga diri jika tidak diimbangi dengan kesadaran diri yang kuat.

7. Suka Menilai Tapi Jarang Mengungkapkan

Mereka mungkin terlihat pasif di permukaan, tetapi sering memiliki banyak opini tentang apa yang mereka lihat.

Baca Juga  Mengapa Flutter Menjadi Pilihan Utama untuk Pengembangan Aplikasi Mobile?

Orang-orang ini memiliki kecenderungan untuk menilai dalam hati, tanpa perlu mengomentari atau menyukai postingan tersebut.

Dalam psikologi, ini disebut sebagai bentuk observational judgment, yakni kecenderungan untuk menganalisis dan menilai perilaku sosial orang lain tanpa keterlibatan langsung.

Mereka menyimpan pendapatnya untuk diri sendiri, dan jarang mengungkapkan secara terbuka.

8. Menggunakan Media Sosial Sebagai Sarana Pengendalian Sosial

Beberapa dari mereka menggunakan stalking sebagai cara untuk tetap “mengendalikan” lingkup sosial mereka.

Misalnya, mengetahui perkembangan mantan pasangan, memantau kompetitor, atau sekadar menjaga jarak tapi tetap up-to-date.

Ini menunjukkan kebutuhan akan kontrol sosial pasif, di mana mereka ingin tetap punya informasi tanpa perlu menunjukkan diri.

Mereka seperti bayangan yang hadir tapi tidak terlihat.

Penutup: Diam Bukan Berarti Tak Terlibat

Fenomena “tidak pernah posting tapi selalu stalking” bukanlah hal yang aneh atau salah.

Psikologi memahami bahwa setiap orang punya cara berbeda dalam memanfaatkan media sosial sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan emosionalnya.

Namun, penting untuk menyadari motivasi di balik perilaku tersebut.

Jika stalking dilakukan karena perasaan rendah diri, kecemasan sosial, atau kebiasaan membandingkan hidup secara negatif, maka ada baiknya mulai mengelola pola pikir dengan lebih sehat.

Media sosial seharusnya menjadi ruang ekspresi dan koneksi, bukan sumber tekanan dan penghakiman diam-diam.

***

Tinggalkan Balasan